Scuba Diving, Menggaet Nikmat Dibawah Air

11 08 2009

Menikmati pemandangan bawah laut, memiliki kenikmatan dan keasyikan tersendiri, beraneka ragam kehidupan bersileweran dalam perairan tersebut, begitu memikat untuk ditatap dan disingkap kehidupan bawah laut tersebut yang sampai sekarang ini baru sebagian kecil saja  yang baru terungkap. Mulai dari beragam jenis ikan yang indah-indah, berbagai mcam biota dan tumbuhan laut yang bewarna-warni seakan menari-nari menunggu kedatangan kita, ratusan ragam bentuk terumbu karang hingga planton dan biota lainnya, sungguh suatu pemandangan yang sangat ruarr biasa sekali.dive1

Untuk dapat menikmati semua keindahan dan kenikmatan didasar laut tersebut, tidaklah terlalu sukar dan memerlukan waktu yaang lama. Salah satu caranya adalah dengan belajar menyelam atau scuba diving, dengan belajar menyelam, seorang diver akan mendapatkan semua teori  bagaimana cara menyelam dengan benar, pengenalan da pengetahuan tentang peralatan standar penyelaman dan cara-cara penyelamatan diri, hanya saja biaya yang harus dikeluarkan untuk belajar scuba relatif agak mahal.

Pilihan lain masih ada untuk memperoleh kenikmatan tersebut yaitu dengan belajar snorkeling atau skin diving. Sebenarnya skin diving ini adalah dasar utama untuk mengikuti jenjang penyelaman scuba, yang penting bisa berenang dan biayanya pun murah sekali kita sudah bisa mengikutinya.

Berbeda dengan scuba dving yang menuntut begitu banyak peralatan dan relatif mahal serta harus memiliki ketrampilan khusus, untuk dapat melakukan snorkeling cukup sederhana saja, yang paling penting adalah bisa teknik dasar berenang, peralatan dan perlengkapannya juga tidak terlalu banyak yakni : (1). Masker untuk melindungi mata dan hidung dari kemasukan air, (2). Snorkel alata bantu untuk bernafas melalui mulut dan (3). Fin atau kaki katak untuk menambah kecepatan dan gerakan kaki dalam meluncur di air. Semua peralatan skin tersebut dapat diperoleh di toko-toko olah raga dengan harga yang bervariasi, tergantung dari merek dan kualitas, dengan kisaran harga antara Rp. 80.000,- sampai dengan Rp.250.000,-. Untuk melakukan snorkeling pun tidak dituntut harus mempunyai sertifikat selam, asal saja saat bersnolkeling tetap harus didampingi oleh pasangan kita, artinya walaupun hanya dipermukaan tetap tidak boleh sendirian.

Tapi, biasanya hanya dengan skin diving atau snorkeling saja, orang tidak cukup puas menikamati keindahan panorama bawah laut tersebut, karena hanya dengan mengapung dipermukaan keindahan yang dapat disaksikan terbatas, hanya sebagian kecil yang dapat dinikmati, misalnya yang dapat disaksikan hanya ikan-ikan kecil dan beraneka ragam terumbu karang jenis perairan dangkal saja yang dapat disaksikan. Padahal jauh dibawahnya lagi masih banyak yang tersembunyi.

Maka untuk dapat menimati itu semua, dengan peralatan dasar snorkeling tersebut tak bisa menyelam ketempat yang lebih dalam dan lebih lama, karena itu kita harus dilengkapi dengan alat bantu untuk pernafasan dibawah laut dengan alat SCUBA ( Self Contained Underwater Breathing Apparatus), untuk bisa selam scuba mau tak mau kita pun harus memiliki sertifikat penyelaman minimal atau setara A2 versi POSSI (Persatuan Olah Raga Selam Seluruh Indonesia). Untuk memperoleh sertifikat tersebut harus terlebih dahulu mengikuti kursus singkat atau pelatihan yang didakan oleh dive shop atau lembaga-lembaga yang berwenang. Kalau kita sudah mengantongi sertifikat selam, walaupun kita tidak mempunyai peralatan selam scuba, dapat disewa pada dive shop yang menyediakan peralatan tersebut.

Kini olah raga selam di Sumatera Barat sudah mulai berkembang, bahkan untuk untuk eksebisi selam pada PON ke 16 di Sumbar pun mengirim 6 orang atletnya walaupun belum berhasil memperoleh mendali. Dikalangan perguruan tinggi pun untuk kegiatan sejenis ini dalam organisasi kemahasiswaa mempunyai unit tersendiri, di Universitas Bung Hatta misalnya UKM Diving Proklamator yang latihan rutinnya setiap hari Minggu di kolam renang Teratai GOR Hj.Agus Salim. “Sekarang orang belajar selam sudah merupakan suatu keharusan, agar bisa menikmati keindahan bawah laut, tidak hanya untuk sekedar hoby saja, tapi juga sudah dijadikan profesi”, ujar Yusuf, staf Yayasan Minang Bahari yang rutin mendampingi anggota Diving Proklamator UBH. Yusuf yang sering dipanggil staff ini juga mengutarakan bahwa, bagi kalangan mahasiswa, khususnya yang menyukai dunia laut, ketrampilan menyelam ini mutlak diperlukan, terutama bagi yang akan melakukan penelitian tentang terumbu karang da ikan-ikan karang, karena untuk mendapatkan data dan hasil yang memuaskan harus dengan melakukan penyelaman scuba. Nah !!, melihat begitu terbentang luas dan banyaknya pulau-pulau kecil di perairan Sumatera Barat, akan kah berkembang terus olah raga ini ???.





39 Titik Selam Berkelas Dunia di Sumbar

28 05 2009

27 Mei 2009

PADANG, KOMPAS.com – Perairan laut Provinsi Sumatra Barat (Sumbar) memiliki potensi untuk pengembangan wisata selam (diving) di alam terbuka karena sedikitnya memiliki 39 titik untuk lokasi penyelaman berkelas dunia. Kesimpulan itu setelah dilakukan penyelaman pada titik-titik tersebut dan diperbandingkan dengan titik penyelaman kelas dunia yang ada di daerah atau negara lain, kata Pembina Selam Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Bung Hatta, Indrawadi kepada ANTARA di Padang, Selasa (26/5).

Ia menambahkan, 39 titik itu tersebar pada perairan laut di tujuh kabupaten dan kota yang wilayahnya memiliki laut di Sumbar, terutama di Kota Padang dan Kabupaten Pesisir Selatan dan Padang Pariaman. Dari 39 titik itu, ada lima titik yang jaraknya sekitar 10 mil laut dari pesisir pantai Sumbar, atau dengan jarak tempuh sekitar dua jam 30 menit menggunakan kapal bermesin 40 PK.

Lima titik itu, yakni Gosong Laut di perairan Kota Padang berjarak 11 mil dari Pantai Padang yang memiliki keindahan panorama hamparan terumbu karang dan penyelam bisa menyaksikan lalu lintas penyu menuju pulau terpencil untuk bertelur. Titik kedua, di perairan Pulau Air Kota Padang dimana pada dasar laut terdapat bangkai kapal Belanda yang tenggelam pada masa penjajahan dan kini ditumbuhi terumbu dan bunga karang aneka warna yang indah. Di lokasi itu penyelam juga sering menyaksikan gerombolan hiu tutul ukuran besar yang selama ini ada yang menyerang manusia (penyelam). Lokasi titik ke tiga di perairan laut Pulau Pieh, Kabupaten Padang Pariaman yang memiliki dinding terjal bawah laut berlapis terumbu karang dengan panorama hampir sama dengan di Taman Nasional Bunaken, Sulawesi Selatan.

Titik ke empat, di perairan laut Pulau Marak Kabupaten Pesisir Selatan yang juga memiliki dinding bawah laut yang terjal dengan hamparan terumbu karang yang alami dan indah.

Sedangkan titik ke lima, di perairan laut Pulau Pandan, Kota Padang yang selain memiliki panorama bawah laut yang indak juga terdapat benteng peninggalan Belanda di Pulau tersebut.

sumber : http://travel.kompas.com/read/xml/2009/05/27/03402516/39.titik.selam.berkelas.dunia.di.sumbar





Siswa pun Jatuh Cinta pada Indahnya Terumbu Karang

17 10 2008

Tiga hari dikarantina di Wisma Bakti, Kawasan GOR Agus Salim, Padang, dan diberikan pelajaran tentang terumbu karang dan kelautan membuat 36 orang pelajar SMU/SMK se-Sumatera Barat, ini harus berpisah dengan teman-teman sekolahnya.

Namun, siswa-siswi ini mengaku tak menyesal. Sebab, ia mendapat banyak manfaat dari acara Pemilihan Buyuang dan Upiak Terumbu Karang 2008 tingkat Sumatera Barat.

Acara yang dihelat Departemen Perikanan dan Kelautan, 9-11Oktober, ini diikuti 36 siswa SMA dan SMK dari Coremap II Sumatera Barat. Coremap sendiri merupakan singkatan dari Coral Reef Rehabilitation and Management Program.

Di Indonesia ada dua Coremap. Coremap I meliputi wilayah Indonesia Timur dan dibiayai oleh Bank Dunia. Coremap II meliputi wilayah Indonesia barat dan dibiayai oleh Bank Pembangunan Asia.

Menurut Lafifah, salah seorang peserta, di sekolah mereka boleh dikatakan tidak dapat pelajaran mengenai terumbu karang dan eksosistim kelautan, tetapi hanya sekilas saja pada mata pelajaran Biologi.

Latifah berharap agar di sekolah diberikan kurikulum lokal untuk mendapatkan materi pendidikan pengenalan ekosistem laut terutama terumbu karang.

Dengan demikian dapat meningkatkan pemahaman terhadap sumber daya alam di sekitarnya, melalui pengembangan dan penggunaan muatan lokal terumbu karang yang diajarkan di sekolah. http://tv.kompas.com/content/view/6536/2/





Soal Terumbu Karang, Perlu Kurikulum Lokal

17 10 2008

Eksploitasi terumbu karang di perairan Sumatera Barat mengundang keprihatinan. Tak hanya karena faktor alam, tapi juga ulah manusia yang melakukan pembiusan, penangkapan ikan dengan bom, dan penambangan karang. Pada akhirnya akan berpengaruh pada menurunnya hasil tangkapan.

Terkait masalah lingkungan itu, 36 Pelajar SMU/SMK se-Sumatera Barat, mengikuti pemilihan Buyuang dan Upiak Terumbu Karang Tingkat Propinsi Sumatera Barat, yang digelar Dinas Perikanan Sumbar dan COREMAP II Sumbar di Wisma Bakti Padang.

Para peserta juga mendapat pelatihan untuk meningkatkan pemahaman guru terhadap sumber daya alam di sekitarnya dan materi ekosistem laut dan terumbu karang.

Menurut Lafifah, salah seorang peserta, di sekolah mereka boleh dikatakan tidak dapat pelajaran mengenai terumbu karang dan eksosistim kelautan. Tetapi hanya sekilas saja pada mata pelajaran Biologi. Ia berharap agar di sekolah diberikan kurikulum lokal untuk mendapatkan materi pendidikan pengenalan ekosistem laut terutama terumbu karang.

Dengan demikian dapat meningkatkan pemahaman terhadap sumber daya alam di sekitarnya, melalui pengembangan dan penggunaan muatan lokal terumbu karang yang diajarkan di sekolah. http://tv.kompas.com/content/view/6532/2/





Illegal Logging Ikut Rusak Terumbu Karang

8 05 2008

sumber :

 http://wwwantara.co.id/arc/2008/4/24/illegallogging-ikut-rusak-terumbukarang/ – 13k

Padang (ANTARA News) – Peneliti Program Pasca-Sarjana Fakultas Perikanan dan Kelautan (FPIK) Universitas Bung Hatta Padang, Sumatera Barat (Sumbar), Indrawadi, mengatakan bahwa tindakan illegal logging (pembalakan kayu secara liar) di daratan juga membawa dampak terhadap kerusakan terumbu karang di lautan.

Akibat illegal logging banyak menimbulkan banjir bandang yang kemudian mengalir ke laut membawa lumpur dan potongan kayu gelondongan lalu menimbulkan tingginya sendimentasi di laut yang merusak terumbu karang, kata Indrawadi kepada ANTARA News di Padang, Kamis.

Kondisi ini cukup memprihatinkan, karena telah sering terjadi banjir bandang termasuk di Sumbar, akibat tindakan illegal logging, ujarnya.

Menurut dia, jika hal ini tidak diatasi, maka apapun upaya pelestarian terumbu karang akan sia-sia jika sendimentasi lumpur di perairan laut terus bertambah akibat banjir bandang di daratan.

Ia menyebutkan, upaya pelestarian terumbu karang dengan menanami kembali kawasan karang yang sudah hancur, menjadi perhatian sejumlah LSM baik lokal maupun nasional.

Kerusakan terumbu karang menimbukan kerugian besar baik dari sisi lingkungan hidup maupun pada sektor ekonomi, termasuk pariwisata, tambah Indrawadi, yang juga Sekretaris LSM Yayasan Minang Bahari itu.

Kerugian lingkungan hidup, terjadi karena rusaknya terumbu karang akan menyebabkan perubahan ekosistim laut ke arah negatif serta terganggunya proses alamiah di laut.

Ia menilai, kerugian ekonomi akibat rusaknya terumbu karang menyebabkan turunnya jumlah ikan tangkapan nelayan karena ikan bermigrasi ke wilayah lain yang karangnya masih ada dan alami.

Terumbu karang, menurut dia, tidak bisa dilepaskan dari populasi dan perkembangan ikan, kawasan itu menjadi tempat bertelur serta menyediakan bahan makanan bagi ikan.

Kemudian dari sisi pariwisata, hancurnya terumbu karang membuat kawasan laut dan pantai tidak lagi menarik, terutama untuk wisata menyelam.

Daya tarik wisata bahari, antara lain keberadaan kawasan terumbu karang yang terjaga dan alami, jika ini sudah rusak maka minat wisatawan tentu jauh berkurang, tambahnya.

Karena itu, upaya pelestarian terumbu karang harus menjadi isu bersama dan hal-hal yang mengganggu kegiatan ini harus diatasi bersama pula, termasuk menghentikan illegal logging yang menyebabkan banjir bandang dan naiknya sendimentasi di lautan, demikian Indrawadi. (*)

 

COPYRIGHT © 2008





NELAYAN DAN WISATA PANTAI

14 04 2008

Belakangan ini wisata bahari banyak ditonjolkan oleh pemerintah kabupaten/kota di Indonesia. Hal ini dapat dimengerti karena memang banyak wilayah Dati II yang memiliki pesisir. Potensi devisa dari wisata bahari diperkirakan juga sangat besar. Wisata bahari pada hakekatnya adalah mengembangkan dan memanfaatkan obyek serta daya tarik wisata di kawasan pesisir dan lautan Indonesia, berupa kekayaan alam yang indah, keragaman flora dan fauna.

Dengan potensi yang demikian besar, agar pengembangan pariwisata, termasuk wisata bahari, memberikan manfaat bagi pembangunan maka dalam pelaksanaannya dibutuhkan strategi yang terencana dan sistematis bagi masyarakat lokal. Keterlibatan atau partisipasi masyarakat lokal menjadi penting termasuk dalam kaitannya dengan upaya keberlanjutan pariwisata itu sendiri, terhadap lingkungan maupun manfaatnya bagi kesejahteraan masyarakat.

Hal ini penting agar pengembangan pariwisata tidak hanya demi meningkatkan penerimaan daerah tetapi juga betul-betul memberikan manfaat bagi masyarakat terutama yang berada di daerah obyek wisata yang bersangkutan. Bila daerah obyek wisata bahari itu adalah juga tempat nelayan beraktivitas, maka pengembangan wisatanya juga memberikan manfaat bagi masyarakat nelayan. Jangan sampai para nelayan, yang secara umum masih mengalami kemiskinan dan ketertinggalan justru tersingkir karena berkembangnya pariwisata.

Artikel singkat ini membahas persoalan pengembangan wisata bahari,khususnya pantai di sepanjang Pantai Padang, salah satu contoh kasus adalah pantai Purus dan Pantai Pasir Jambak. Dua hal disampaikan di sini, pertama adalah dinamika pekerjaan nelayan dan kedua adalah respon masyarakat nelayan terhadap wisata pantai. Kedua hal ini diangkat karena keduanya saling terkait dalam pengembangan wisata pantai ataupun ekowisata. Sebagaimana diketahui, ekowisata sangat menekankan pentingnya masyarakat lokal baik dari sisi peran mereka maupun dari sisi penerima dampak dan manfaat wisata.

Pantai Purus adalah pantai yang membentang sepanjang Jalan Samudera yang akhir-akhir ini padat arus lalu lintas, apalagi setelah jalan tersebut dipilih pengguna jalan sebagai jalur alternatif menghindari kemacetan yang telah mulai di Padang, terutama depan Plaza Andalas yang memang telah dijadikan jalur sattu arah dan sepanjang jalan Veteran. Di pinggir-pinggir jalan inilah inilah terdapat pantai yang telah di lindungi batu-batu sebagai krib pelindung dari abrasi, dimana para nelayan biasa mendaratkan dan memarkir perahu-perahu mereka. Selain itu, berkaitan dengan hasil ikan yang ditangkap, juga terdapat lapak-lapak PKL yang langsung menjual hasil tangkapan para nelayan tersebut sehingga para pengunjung dapat menikmati hasil laut yang masih segar.

RESPON TERHADAP WISATA PANTAI

Sehebat apapun perkembangan suatu tempat wisata tidaklah ada artinya bagi masyarakat jika masyarakat tidak ikut menikmati hasil dari aktivitas pariwisata yang ada. Hal ini karena masyarakat, terutama penduduk lokal, adalah salah satu komponen penting dalam pengembangan pariwisata jika pariwisata diletakkan pula sebagai upaya untuk mengembangkan dan memakmurkan masyarakat. Sering terjadi masyarakat hanya diposisikan sebagai penonton belaka tanpa mengetahui secara pasti apa yang sesungguhnya tengah terjadi di lingkungan mereka.

Pada dasarnya masyarakat nelayan di Pantai Purus dan Pasir Jambak terbuka dengan upaya pengembangan kawasan ini menjadi kawasan wisata. Lagipula selama ini aktivitas wisata sudah ada di sini. Namun keterbukaan ini adalah dalam kerangka bahwa mereka tetap dapat menjalankan aktivitas mereka melaut menangkap ikan. Kehidupan mereka, setidaknya sebagian, sangat tergantung pada laut sehingga apapun bentuk pengembangan wisata yang dilakukan diharapkan tidak memutus hubungan masyarakat nelayan ini dengan laut. Dapat dibayangkan bagaimana jika nelayan yang dari hasil melaut pun belum cukup memadai untuk meningkatkan taraf hidup harus diputus hubungannya dengan laut.

Dalam kenyataannya, pernah media lokal di daerah ini memberitakan ada investor swasta yang membuat pagar di pinggir laut, yang mungkin tujuannya hendak menjadikannya suatu kawasan eksklusif yang dimulai dengan membuat pagar pembatas. Masyarakat rupanya melihat kemungkinan buruk dari proyek tersebut yakni menutup akses nelayan ke laut sehingga mereka pun protes.

Salah satu kekhawatiran yang dicontohkan adalah jangan-jangan para nelayan harus membayar jika mereka menempatkan atau memarkir perahu mereka di kawasan tersebut. Ini berarti kawasan tersebut hendak dijadikan kawasan yang eksklusif yang menganggap sepi keberadaan penduduknya, khususnya para nelayan. Jika pantai dijadikan kawasan ekslusif maka sama saja artinya para nelayan dilarang melaut karena jalur aksesnya menjadi tertutup.

Oleh sebab itu, mau tidak mau perlu ada perhatian terhadap peran masyarakat lokal dalam mengembangkan lokasi wisata. Namun peran penduduk lokal menjadi minim karena mereka belum melihat adanya rencana yang jelas dari pihak pemerintah, kendati pihak pemerintah daerah sudah merencanakan pengembangan wisata termasuk di Pasir Jambak.

Ketidakjelasan rencana pengembangan juga dapat menimbulkan persoalan di antara pelaku-pelaku ekonomi di lokasi tersebut. Nelayan tentu membutuhkan area untuk memarkir perahu atau kapalnya.

Persoalan lain yang dimata masyarakat sebagai bentuk ketidakseriusan pemerintah dalam mengembangkan kawasan wisata ini adalah kurangnya fasilitas atau prasarana pendukung. Diantaranya adalah penerangan jalan dirasakan sangat tidak memadai. Di luar prasarana lainnya, nelayan juga mengeluhkan tiadanya fasilitas SPBU (stasiun pengisian bahan bakar umum). Ketiadaan sarana ini dirasakan bukan hanya menyulitkan para nelayan tetapi juga bagi aktivitas wisata di pantai tersebut.

Melihat salah satu dari persoalan-persoalan yang ada, tampak bahwa pengembangan wisata pantai, di Kota Padang khususnya, seyogyanya terintregrasi dengan pengembangan masyarakat nelayan yang aktivitas utamanya tidak lepas dari laut dan pantai. Artinya, pengembangan wisata tidak bias pada kepentingan PAD saja. Tetapi pemerintah hendaknya juga memberikan acuan atau rencana pengembangan yang jelas dan prosesnya juga melibatkan masyarakat lokal. Selain itu, sarana-sarana pendukungnya juga dilengkapi bila memang kawasan ini hendak dikembangkan secara serius sebagai kawasan wisata yang berciri aktivitas masyarakat nelayan.***





Pilih “Ngojek” Ketimbang Melaut

14 04 2008

Puluhan bahkan mungkin ratusan angkot setiap hari lalu lalang melewati simpang perumnas Minang Plaza dan Simpang Gia bandara Tabing . Sejumlah penumpang turun dari angkot bewarna putih dan orange itu. Sebagian dari mereka terlihat membawa tas ”kresek” berisi belanjaan. Ada juga yang hanya ”malenggang”saja tanpa membawa apapun.

Begitu menginjakkan kaki dan melangkah menuju arah tujuan, puluhan tukang ojek segera menyambut mereka. Sepeda motor tukang ojek tersebut telah diparkir dan disiapkan berdasarkan giliran. Para tukang ojek tidak perlu lagi merayu atau berebut sesama tukang ojek memperebutkan penumpang. Telah ada aturan sesama mereka bahkan pada beberapa pangkalan ojek sudah terbentuk organisasi atau yang mengaturnya.

Suasana seperti itu telah menjadi pemandangan sejak tiga tahun terakhir ini. Di manapun sekarang ini, ojek telah menjadi sarana transportasi utama, bukan lagi transportasi alternatif, khusunya pada jalur-jalur yang tidak dilalui angkot dan yang hanya berjarak tidak lebih dari 1 km ke jalan utama sebagaimana yang terjadi juga di sejumlah daerah di Indonesia.

Sejauh ini belum ada angka pasti berapa jumlah pangkalan ojek maupun tukang ojek, khususnya di Sumatera Barat. Namun saat ini diperkirakan jumlahnya bisa mencapai diatas 10.000 tukang ojek di seluruh Sumatera Barat. Di kedua kawasan diatas, dari hari kehari jumlah tukang ojek terus bertambah, terutama sejak berbagai produsen sepeda motor dan lembaga keuangan menawarkan uang muka kredit motor murah, bahkan ada yang hanya bayar DP Rp. 500.000 saja, tanpa jaminan sepeda motor sudah bisa dibawa pulang.

Kini menjadi tukang ojek bagi sebagian orang telah menjadi profesi yang lebih menjanjikan bagi masyarakat, tidak terkecuali bagi yang dulunya berprofesi sebagai atau keluarga nelayan. Hal ini terbukti semakin banyaknya pemuda dari keluarga nelayan yang enggan melanjutkan pekerjaan orang tua mereka sebagai nelayan. Momon (20), misalnya, mengaku enggan pergi melaut atau menjadi nelayan lagi karena penghasilan yang diperoleh dari melaut tidak pasti.

”Saya malas melaut, soalnya pengahsilannnya tidak pasti. Kalau lagi musim paceklik, sering tidak dapat ikan. Tetapi jika lagi panen ikan harganya anjlok. Kalau ngojek, penghasilannya kan pasti. Tiap hari saya dapat uang Rp.10.000. sampai Rp. 30.000. Lumayan kan buat bantu orang tua dan membayar cicilan kredit motor,” ujar Momon yang saat ini tidak lagi melanjutkan sekolah.

Selain itu, is mengaku tidak tahan harus hidup dan berpanas-panas dilaut setiap hari, tidak jarang sampai berhari-hari bahkan sampai berminggu-minggu di laut. Bagi pemuda seperti Momon, bekerja sebagai nelayan ibaratnya menantang maut yang setiap saat bisa datang di tengah samudera luas.

Makin terpuruknya kehidupan nelayan membuat profesi tukang ojek makin dilirik oleh sebagian dari mereka. Bahkan sejumlah dari mereka telah beralih profesi menjadi tukang ojek untuk mengisi periuk nasi keluarga. Jika tidak punya sepeda motor sendiri, mereka bisa menyewa dengan sistim setoran.

Kendati demikian, sebagian dari meraka juga memilih tetap bertahan melaut, karena profesi tukang ojek juga mengenal pasang surut. ”Jadi tukang ojek kadang-kadang tidak lebih baik dibanding sebagai nelayan. Sebagian tukang ojek itu, kan juga dikejar-kejar setoran. Padahal, kalau lagi sepi juga susah cari penumpang,” ujar Jejen nelayan tradisional di Pasir Parupuk Tabing.

Sejumlah nelayan lain mengaku tetap bertahan jadi nelayan karena tidak ada pekerjaan lain. ”Bagaimana mau ngojek kalau tidak punya sepeda motor. Jangankan untuk meng-kredit apalagi beli motor,uang untuk keperluan sehari-hari saja sulitnya minta ampun. Biasanya ngutang ke warung atau tengkulak ikan,” keluh Jejen.

Profesi nelayan semakin terpinggirkan, sungguh terasa ironis sekali jika melihat tingginya potensi perikanan laut di pesisir kita.Derita tidak berkesudahan membuat sebagian nelayan mulai beralih profesi jadi tukang ojek.”Tidak ada warga ini yang bercita-cita menjadi nelayan.Banyak warga yang ingin memperbaiki nasibnya dengan pergi merantau karena jadi nelayan berarti siap hidup melarat,” kata Jejen mengakhiri obrolan sore itu.





Sambil Menyelam, Meneliti Terumbu Karang

12 04 2008

Menyelam akan membawa kita merasakan suasana lain yang enggak mungkin kita temukan di daratan. Sayangnya, biaya hobi yang satu ini lumayan mahal. Tetapi, ada cara untuk dapat gratisan, sekaligus turut melestarikan lingkungan. Tertarik?.

Dengan luas laut mencapai lebih dari dua pertiga dari total luas wilayahnya, Indonesia punya ribuan tempat diving yang sangat menarik. Demikian halnya Kota Padang. Perairan Kota yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia ini memiliki belasan site untuk diving yang tiap site-nya bisa terdapat titik-titik untuk menyelam. Sayangnya, penyelam yang menikmati bawah laut itu masih relatif sedikit sekali.

Hal inilah, yang menjadi salah satu yang menggugah mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Bung Hatta, dibawah unit kegiatan kemahasiswaan untuk mendirikan Diving Proklamator  yang populer disingkat BHDC. “Kami enggak ingin hanya menyelam, tapi sekaligus melestarikan terumbu karang,” kata Yusuf. bersama anggota yang aktif latihan rutin di kolam renang Teratai , cowok yang akrab dipanggil “staf” itu kini juga telah sering diajak menyelam ke berbagai tempat, bahkan ke Pulau Nias Sumatera Utara oleh berbagai lembaga penelitian yang memanfaatkan keahlian menyelam. “Kami ingin menggunakan latar belakang science saat menyelam,” ujar Acel mantan anggota Diving Proklamator yang baru saja  menyelesaikan kuliahnya di Falkultas Perikanan Universitas Bung Hatta Oktober 2005 kemarin. Not just for fun….

Keakraban mereka dengan kehidupan bawah laut tergolong belum lama. Sejak kecil, sebenarnya Acel sudah terobsesi dengan dunia laut. Kalau melihat siaran di televisi tentang kehidupan bawah laut, dia betah nontonnya. “Kayaknya asyik banget berenang diantara ikan-ikan,” kata putra Cucu Magek Dirih ini. Sayangnya, biaya diving tergolong mahal. Pas sudah kuliah, cowok berwajah face ini ingin masuk Mahasiswa Pencinta Alam, tapi enggak jadi karena menurut Acel, kegiatannya terlalu berat.

Enggak jauh beda dengan Ina cewek yang sehari-hari berjilbab, Diving semula tidak pernah terlintas di pikirannya. “Berenang aja enggak bisa. Maklum, orang gunung,” katanya sambil tertawa. Namun, sejak kecil Ina sudah menyukai petualangan di alam, seperti Pramuka, Sukarelawan PMI ataupun Siswa Pencinta Alam.

Maka, ketika mereka kuliah di Universitas Bung Hatta, keduanya senang bukan kepalang ketika senior-senior mereka saat orientasi pendidikan memperkenalkan unit kegiatan kemahasiswaan diving sebagai salah satu UKM yang ada untuk mahasiswa.

Mulai semester II, sejak bergabung dengan Diving Proklamator, mereka mulai dilatih oleh Instruktur dari Yayasan Minang Bahari yang juga adalah notabene alumnus Faperi Universitas Bung Hatta. Sebelum terjun ke bawah permukaan air laut, harus berlatih dulu tentang dasar-dasar penyelaman. Seminggu sekali mereka berlatih di kolam renang Teratai GOR Agus Salim. Latihan dasar itu berupa berenang selama sejauh 200 meter, menyelam sedalam 4 meter, berjalan di air (water trappen), dan floating alias mengambang di atas permukaan air. Disamping itu juga di berikan teori-teori dasar penyelaman. Hasilnya? Sampai mereka menyelesaikan kuliah, hanya empat orang yang lulus untuk menyelam memakai scuba (peralatan diving).

Mengecek terumbu karang

Umumnya, para penyelam menyukai suasana bawah laut ini karena sensasinya jelas berbeda dengan di darat. Suasana di bawah permukaan laut hanya ada air dan kita bergantung pada persediaan oksigen di tabung yang kita bawa. Hanya ada sunyi senyap dengan ribuan ikan di sekeliling kita. Beberapa penyelam bahkan mengaku seperti sedang bersemedi ketika menyelam karena pikiran di-refresh.

Namun, bagi anak-anak Diving Proklamator, seperti Acel dan Ina, menyelam enggak cuma untuk senang-senang. Sambil menyelam mereka juga menunjukkan kepeduliannya pada pelestarian terumbu karang tersebut. Caranya dengan melakukan monitoring, reef check, maupun coral bleaching. Kegiatan-kegiatan itu dilakukan untuk memantau bagaimana kondisi terumbu karang di suatu tempat. Monitoring dan reef check di satu tempat dilakukan tiap enam bulan sekali, sedangkan coral bleaching tiap tiga bulan sekali. Karena banyak tempat yang dipantau, maka hampir tiap bulan mereka melakukan kegiatan-kegiatan tersebut. “Asyiknya, kami bisa mendata keadaan terumbu karang sekaligus jalan-jalan,” kata Acel.

Pemantauan itu dilakukan bareng-bareng LSM maupun pemerhati dan penyelam lainnya. Contohnya pada akhir Desember lalu, anak-anak Diving Proklamator  bareng dengan Yayasan Minang Bahari melakukan pemantauan di Pulau Pisang gadang, Pulau Sironjong dan Pulau Pagang. Dengan pemantauan itu, mereka bisa menyelam gratis. Sebab, biaya untuk menyelam memang lumayan mahal. Saat ini untuk sekali menyelam lengkap dengan masker, fin, tabung, wetsuite, dan peralatan lainnya paling enggak kita mesti bayar Rp 750.000. Harga itu belum termasuk transpor dan makan siang.

Kalau mau tetap menikmati kehidupan bawah laut dengan harga lebih murah, kita juga bisa dengan snorkling. Kegiatan yang satu ini lebih mudah karena kita cukup pakai masker, snorkel, fin, dan baju pelampung. Kita bisa menikmati indahnya bawah laut itu dari atas. Lumayan, daripada enggak.

Namun, kalau tetap ingin nyoba, buat aja kelompok selam di sekolah atau kampus seperti anak-anak Diving Proklamator. Tim instruktur dari Minang Bahari siap akan membantu anda. Jadi, bisa nunjukin kepedulian pada lingkungan sekaligus jalan-jalan. So, kenapa enggak nyoba yang gratisan?





Rumpon Menetap, Mampu Atasi Masalah Nelayan

11 04 2008

Rumpon Menetap, Mampu Atasi Masalah Nelayan

Dampak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) belakangan ini sangat dirasakan berat oleh nelayan yang sebagian besar tinggal di pelosok-pelosok pedesaan dan jauh dari fasilitas infrastruktur public ; seperti jalan raya, transportasi, komunikasi dan sarana lainnya yang memadai. Akibat dari terbatasnya insfrastruktur tersebut menyebabkan harga BBM di pusat-pusat kegiatan nelayan jauh lebih tinggi dari kenaikan harga BBM standar nasional yang ditetapkan oleh pemerintah dan menyebabkan sebagian besar usaha nelayan terancam gulung tikar

“Kurangi dan hentikan kebiasaan berburu dan mulailah kebiasaan memanen ikan” adalah kata kunci bagi nelayan untuk meminimalisir kebutuhan BBM yang mencapai 80% biaya operasional melaut per tripnya. Pada dasarnya ikan dan biota laut lainnya menyenangi kawasan terumbu karang yang kondisinya masih baik, perairan yang tidak tercemar, tersedia cukup sumber bahan makanan, terlindung, aman dari predator maupun gangguan dari lingkungan lainnya. Apabila semua persyaratan tersebut dipenuhi oleh suatu wilayah perairan laut, maka dapat dipastikan wilayah laut tersebut kaya akan sumber daya ikan

Pertanyaan penting buat nelayan tradisionil adalah apakah mereka bisa memetakan suatu wilayah perairan laut mana yang masih kaya akan sumber daya ikan tersebut ?. Sudah barang tentu untuk nelayan dengan armada kapal ikan modern, yang dilengkapi dengan peralatan canggih dapat mendeteksi keberadaan sumber daya ikan tersebut. Bagi nelayan tradisional atau skala usaha kecil hal itu sudah dapat dipastikan tidak bisa dan biasanya hanya mengandalkan insting dan tanda-tanda alam.

Di wilayah pesisir, kita dapat dengan mudah menemukan berbagai jenis alat tangkap ikan yang dipasang secara stasioner oleh nelayan seperti; ambai, jermal, bubu rumpon dan beberapa jenis alat lainnya. Kegiatan nelayan dengan menggunakan alat tangkap stasioner tersebut dapat dikatakan sebagai kegiatan upaya memanen ikan. Karena ikan datang dengan sendirinya dan terkumpul atau terperangkap di dalam alat tangkap tersebut. Dalam kurun waktu tertentu setelah dianggap cukup banyak, baru nelayan menangkap atau memanennya. Pada umumnya nelayan pengguna jenis alat tangkap ini tidak terlalu dipusingkan dengan kenaikan harga BBM dan masih dapat survive melanjutkan usahanya dan banyak diantara mereka yang hidup layak.

Berdasarkan hasil penelitian, metode penangkapan ikan dengan bantuan rumpon yang dipasang di perairan laut sudah terbukti sangat membantu menghemat BBM hingga 30% dan meningkatkan ikan hasil tangkapan nelayan. Rumpon adalah salah satu bentuk habitat ikan tiruan yang terbuat dari berbagai macam bahan, seperti berasal dari daun pohon kelapa, ranting-ranting pohon, bambu, balok-balok beton, ban bekas atau dari bahan lainnya yang dibenamkan di dalam kolom air dan sifatnya menetap atau dapat dipindahkan. Metode penggunaan rumpon dapat dengan mudah diaplikasikan oleh nelayan karena bahan pembuat rumah buatan untuk ikan ini relatif murah dan gampang ditemukan oleh nelayan. Disamping itu dengan memasang rumpon-rumpon tersebut, nelayan sudah diuntungkan dengan memiliki daerah penangkapan ikan yang jelas dan tetap, sehingga kebutuhan BBM akan mudah diprediksi dan lebih hemat.

Ada banyak manfaat dan keuntungan diperoleh jika nelayan menggunakan jenis alat tangkap ikan stasioner atau menangkap ikan dengan bantuan rumpon seperti; kerusakan lingkungan dapat ditekan karena jenis-jenis alat tangkap ikan stasioner ini memiliki sifat ramah lingkungan, mendidik nelayan untuk tetap menjaga kelestarian lingkungan pesisir, biaya operasional melaut lebih kecil, ikan hasil tangkapan lebih segar dan tidak banyak rusak dan dapat dijadikan sebagai sarana rekreasi memancing yang sangat mengasyikkan bagi masyarakat perkotaan di akhir pekan. Disamping itu dengan adanya bangunan-bangunan alat tangkap ikan stasioner di sepanjang pantai juga membantu pemerintah dalam hal meningkatkan kemampuan pada aspek pertahanan dan keamanan nasional.
Untuk dapat mengaplikasikan model pengelolaan perikanan tangkap dengan menggunakan alat tangkap ikan stasioner atau menggunakan bantuan rumpon yang diperuntukkan bagi nelayan tradisional, tentunya membutuhkan studi kelayakan (feasibility study) terlebih dahulu dengan mempertimbangkan berbagai faktor seperti; faktor ekologi lingkungan pesisir yakni tetap memperhatikan kepentingan daerah konservasi atau daerah perlindungan ikan, karakter pantai, faktor teknis dan sumber daya manusianya sendiri. Dengan dukungan studi kelayakan ini diharapkan diperoleh informasi teknis yang akurat mengenai kesiapan dan ketrampilan nelayan, jenis alat tangkap ikan stasioner yang cocok sesuai kondisi wilayah pesisir dan karakter pantainya, dan di wilayah perairan mana saja dapat dijadikan daerah pemasangan rumpon-rumpon tersebut.

Untuk wilayah pesisir Sumatera Barat sendiri berdasarkan pengamatan penulis, banyak wilayah yang dapat dikembangkan sebagai daerah pengembangan perikanan dengan alat tangkap ikan stasioner dan alat tangkap ikan dengan bantuan rumpon guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir khususnya nelayan.**





On MetroTV

8 04 2008
IwIwitness MetroTV, Setiap Warga Jadi Wartawan

Saat tsunami melanda Aceh tahun 2004 lalu, beberapa warga Aceh merekam peristiwa tsunami melalui video kamera amatir dan ditayangkan secara eksklusif di MetroTV dan countersy dari Metro TV tersebut juga ditayangkan oleh berbagai stasiun televisi diseluruh dunia. Rekaman video amatir tersebut memiliki nilai berita yang tak ternilai harganya, saat para jurnalis professional kesulitan menuju Aceh, ternyata warga biasa mampu bertindak sebagai jurnalis dan melaporkan peristiwa mahadahsyat yang terjadi di Aceh tersebut.

Fenomena jurnalisme yang dilakukan sendiri oleh warga tersebut dikenal dengan nama Citizen Journalism atau Jurnalisme Warga. Kehadiran jurnalisme yang melibatkan warga ini menandakan bahwa aktivitas jurnalistik–mulai dari merencanakan liputan, mengolah, mengedit, memuat hingga menyebarkannya, tidak hanya menjadi milik mereka yang berkecimpung di dunia media, tapi orang biasa pun bisa melakukannya.

Ketika kemajuan teknologi media informasi kian berkembang, melahirkan semangat dan partisipasi publik dalam mendefinisikan isu semakin terakomodasi. Selain itu, kemajuan teknologi media tersebut membuat akses publik untuk memasuki ranah jurnalistik semakin terbuka dan semakin mudah.

LAHIRNYA CITIZEN JOURNALISM

Alasan yang sering diungkapkan dalam berbagai weblog di internet adalah mainstream media seperti media cetak dan elektronik yang ada sekarang kurang mengakomodir dan menyuarakan kepentingan publik. Alasannya bisa karena keterbatasan ruang, kepentingan industri, bisnis dan lain-lain. Adanya agenda setting media mengakibatkan minimnya ruang yang tersedia bagi kepentingan khalayak dalam suatu media.

Di Indonesia, citizen journalism berkembang tahun 2005 diantaranya dengan munculnya situs halamansatu.net, wikimu.com dan panyingkul.com yang hadir dengan motto jurnalisme orang biasa.

Weblog yang menerapkan citizen journalism di Indonesia lebih banyak memuat opini dan beragam informasi yang tidak terakomodasi di media massa konvesional karena alasan-alasan diatas. Seperti misalnya Wikimu.com yang memperkenalkan dirinya sebagai portal informasi komunitas independen dengan konsep partisipatif. Kelebihan dari weblog semacam ini siapapun bisa mendapatkan dan mengirim informasi, hingga mengomentari informasi yang ada di situs tersebut. Sehingga, tingkat interaksi yang terjadi lebih cepat dan lebih banyak, karena saat ini akses internet telah menfasilitasi kecepatan untuk menyiarkan pesan.

Namun, citizen journalism media televisi, menurut saya yang pertama kali dan mengakomodir para citizen journalism adalah MetroTV. Melalui program “Suara Anda” setiap hari Jumat jam 19.05 WIB Metro TV menayangkan dan mengiklankan video kiriman warga yang mempunyai nilai berita. Jika video kiriman warga tersebut, redaksi “Suara Anda” pun melalui presenter melakukan telewicara secara langsung dengan pengirim video. Program “Metro Kampus” sebenarnya juga menerapkan konsep citizen journalism yang meneriama kiriman video kegiatan kampus dari mahasiswa. Warga yang memberi kontribusi tersebut akan dibayar layaknya jurnalis professional sesuai dengan ketentuan dan budged media yang bersangkutan.

Saya menyukai dan belajar dunia jurnalistik, ketika kantor mempercayai sebagai Kepala Bagian Humas Universitas Bung Hatta, beruntung pejabat humas sebelum saya selalu membimbing dan mengawasi, mereka memberikan resep khsusus yakni “ teman-teman pers adalah mitra”. Saya belajar dari situ bahwa untuk masuk dalam dunia citizen journalism, tampaknya yang mesti dibawa bukan sekadar kemampuan standar pelaporan dan penyusunan berita ala 5W + 1 H.

Bagaimanapun, saya gembira dengan fenomena baru dan tantangan serius yang dimunculkan oleh citizen journalism. Saya kira efeknya akan baik buat keduanya, baik bagi publik maupun bagi media mainstream. Sebagaimana sistem pers kuat dibingkai dan dipengaruhi oleh local culture, saya juga percaya, wujud citizen journalism sendiri pada akhirnya akan bervariasi sesuai dengan local culture komunitas yang mengusungnya. Nah, rame-rame jadi citizen journalist? Mengapa tidak?

Rujukan: dari berbagai sumberness MetroTV, SETIAP W\

klik : http://www.bung-hatta.info/video_w1mUAzePRto_3.ubh

http://www.bung-hatta.info/video_w1mUAzePRto_3.ubh